10 September 2017

Ingin Menikmati Sensasi Afrika? Kamu Wajib Ke Tempat Ini



Yap, buat meniknati suasana Afrika, kamu gak usah jauh-jauh ke Afrika sana, kamu cukup ke Sumbawa tepatnya di Kenawa. Kali ini Ian Yuniawan akan mengajak mu melihat seperti apa Kenawa itu. Kenawa merupakan

sebuah pulau kerdil yang merupakan bagian dari gugusan sunda kecil menyajikan nirwana khas afrika dengan lanskap sabana di sekelilingnya. Pulau ini memiliki morfologi seperti Serengeti, sebuah taman nasional di Tanzania terkenal yang menjadi setting apik dari hampir setiap program channel National Geographic. Meski tak kaya akan fauna layaknya Tanzania, padang rumput yang menjadi selimut Kenawa membuat kita serasa berada di Afrika. Tak seperti tetangganya, Jawa dan Pulau Dewata yang basah kaya akan tanah sawah, curah hujan yang minim membuat tanah Sumbawa tampak kering. Namun hal tersebut tak menjadikannya fakir rupa. Pulau Kenawa tetap sedap dipandang mata.

Berada di lintasan penyebrangan Pototano – Kayangan, salah satu jalur ekonomi utama Nusa Tenggara, membuatnya tak tenggelam dalam kesunyian bahkan ketika malam menjelang. Walaupun di dalam kegelapan, dengan jelas dapat kita rasakan hadirnya peradaban melalui bunyi peluit dan lampu kelap kelip dari kapal yang bersliweran sepanjang malam.

Letaknya yang mudah membuat siapa saja dapat menuju ke sana. Hanya dua jam saja dari Bandara Sumbawa, dan 3 jam perjalanan dari Mataram sebelum menyebrang dari Kayangan selama dua jam. Begitu tiba di Pototano, gerbang barat pulau Sumbawa, beberapa nelayan siap sedia menyewakan bahteranya untuk mengantarkan kita ke sana. Berpeluh-peluh terombang ambing di lautan selama 30 menitan guna melakukan penyebrangan tambahan kami pikir layak untuk ditempuh.

Sengaja kami lakukan perjalanan ini pada pertengahan Mei kala curah hujan tak lagi tinggi, dan rumput – rumput belum menguning karena musim kering. Beruntung kami bertemu dengan Pak Abdul, nelayan gundul paruh baya yang menawarkan perahunya kala kapal yang kami tumpangi bersandar di dermaga. Setelah memperoleh kesepakatan harga, Pak Abdul segera mengangkat sauh, mengarahkan perahunya menuju Kenawa.

Mendarat di bibir pantai yang landai dengan bungalow di sekiling pulau, kami segera membangun tempat peraduan guna menghabiskan malam. Kebetulan saat itu, kami bertemu beberapa pemuda pecinta alam Sumbawa dan beberapa traveler Malaysia, yang sama – sama sedang bersafari ria. Kami tidak sendirian. Paling tidak kami dapat sekedar berbagi cerita, canda tawa, bertukar pikiran hingga makanan guna mengusir kebosanan sembari mengahalau nyamuk-nyamuk kelaparan yang menyerang di kala petang.

Segera setelah tenda berdiri, kami beranjak menuju titik tertinggi pulau ini agar kami dapat melewatkan senja di batas cakrawala di titik di mana seluruh keindahan pulau ini terakumulasi. Sengaja kami lewatkan beberapa jepretan agar kami benar-benar dapat menikmati keindahan ciptaan Tuhan.

Hampir malam kami turun dengan perlahan, meraba dan memperhitungkan setiap langkah dengan seksama karena penerangan bukanlah sebuah keniscayaan. Tapi tak apa. Bukankah itu yang kita cari jauh-jauh ke sini. Menjauh dari hiruk pikuk perkotaan, bercumbu dengan alam, hingga menemukan sebuah kedamaian yang hakiki. Tak banyak yang dilakukan kala malam, selain berbincang dan berdendang. Ditemani api yang menari-nari kami menghangatkan diri hingga tak terasa sudah dini hari. Saatnya kami kembali ke peraduan untuk terlelap larut ke dalam mimpi.

Kami kembali terjaga jauh sebelum sang surya memancarkan sinarnya. Efek kopi semalam membuat kami tidak bisa berlama – lama menikmati mimpi. Kami pun mulai mencari tempat yang tepat untuk menyambut datangnya mentari dan mencoba mengarahkan lensa ke arah munculnya sang baskara. Sebuah cara untuk menikmati pagi yang sunyi sebelum kami meninggalkan pulau ini.



Pukul Sembilan kami bersiap pulang sembari mengumpulkan remahan remahan yang ditinggalkan oleh segelintir manusia yang katanya makhluk paling sempurna. Sungguh disayangkan memang tingkah laku beberapa generasi muda Indonesia yang menjadi asset utama bangsa. Jika alam saja tidak kau pedulikan, bagaimana dengan 250an juta manusia yang hajat hidupnya akan kau perjuangkan di masa depan? Biarlah Kenawa dan pulau-pulau di Indonesia menjadi nirwana untuk dunia, dan jangan kau jadikannya favela dengan segala kekumuhannya. Selang beberapa saat, Pak Abdul datang. Mengingatkan kami untuk kembali pulang menghadapi kenyataan. Lumayan, tiga plastik besar berisi sampah yang melimpah ruah berada dalam genggaman. Paling tidak kami bisa pulang dengan tenang walaupun tak benar-benar nyaman melihat masih banyak sampah yang berserakan.

Dari dermaga kami nikmati pesona Kenawa yang entah berapa lama lagi kami bisa kembali. Kami titipkan Kenawa kepada kalian, para pelancong budiman yang datang di masa depan agar kelak roman afrika di bumi samawa tidak menjadi sejarah belaka. Kami berharap suatu hari nanti anak cucu kami dapat merasakan pesona yang sama bukan hanya dari cerita yang kami tulis di sini. Perlahan-lahan perahu Abdul menjauh, meninggalkan Kenawa dalam bayang-bayang.
Previous Post
Next Post

post written by:

0 komentar: