31 October 2017

Mencicipi Dwet Ireng Kantor Pos Purworejo




Dawet adalah minuman berupa campuran cendol, santan, dan air gula ditambah es yang telah populer sebagai minuman masyarakat Jawa sejak puluhan tahun silam. Rasa dawet yang manis menyegarkan sangat cocok dinikmati saat cuaca panas. Tak pelak hampir semua kalangan menyukai minuman ini. Oleh sebab itu, banyak orang mencoba peruntungan dengan berjualan berbagai jenis minuman dawet. Salah satunya bernama Mustajab Leo Tiko Aji atau yang akrab disapa Aji.

Ditemui di lapaknya yang bertagline The Traditonal Drink Of Java, Aji bertutur,“Dulu orang tua saya berjualan dawet putih, tetapi tidak rutin tiap hari. Biasanya menyesuaikan dengan musim atau event yang ada. Kalau pas musim panen padi, jualan dawet untuk para petani di sawah; Umpama lagi ada acara tontonan pertunjukan di kampung, ya buka lapak di sekitar area pertunjukan tersebut, dan lain sebagainya. Semula saya merantau dan kerja kantoran. Karena bapak-ibu semakin sepuh, saya kembali pulang untuk merawat mereka dan melanjukan usaha turun temurun ini”.


Berbeda dengan kedua orang tuanya yang berjualan dawet putih, Aji memilih menjual jenis dawet ayu, dawet ireng dan kombinasi kedua dawet tersebut. Dia beralasan , “ Kedua jenis dawet ini sudah terkenal soalnya. Dawet ayu yang khas dari Banjarnegara, sementara dawet ireng asli made in Purworejo. Karena sudah terkenal jadi lebih mudah menarik minat konsumen. Dawet ayu dan dawet ireng sama-sama menyegarkan . Adapun perbedaanya terletak pada bahan pewarna cendol. Kalau dawet ayu memakai daun pandan, sedangkan dawet ireng menggunakan abu sekam padi. Baik pewarna daun pandan maupun pewarna abu sekam padi, masing-masing memberikan aroma rasa yang seda”.

Ketika Aji memulai jualan dawet , dia hanya mengeluarkan modal 500 ribu per hari. Namun saat sekarang menurutnya per hari mesti keluar dana sekitar 950 ribu. Dibantu 4 orang pegawainya, setiap hari Aji mampu menghasilkan sepikul atau 15 Kg dawet yang terbagi menjadi 300 mangkok sajian dari semua jenis dawet yang dibuatnya. Ia juga menyajikan makanan geblek sebagai pasangan minum dawet di lapaknya. Memang tidak dapat dipastikan seberapa banyak konsumen yang datang membeli dawet Aji. Tetapi setiap hari selalu ada orang bertandang ke lapaknya. Saat hari Sabtu-Minggu dan musim liburan tiba biasanya terjadi lonjakan kunjungan konsumen yang cukup signifikan.

Meski berjualan dawet nampak sepele, pada kenyataannya Aji merasakan betapa jalan bisnis ini cukup berliku. Semula pria asal desa Bener itu membuka lapak di trotoar dekat kampus Universitas Muhammadiyah Purworejo(UMP) pada 1997. Sebenarnya lokasi tersebut terbilang strategis karena di sekitar UMP terdapat pula beberapa sekolahan. Alhasil saat tiba jam istirahat pelajaran, banyak mahasiswa maupun anak-anak sekolah membeli dawet Aji. Namun kemudian lapak Aji kena gusur Satpol PP. Akhirnya tahun 2004 dia terpaksa pindah ke trotoar depan Kantor Pos Purworejo. Tak lama berselang, kembali Aji kena larangan jualan di trotoar. Tetapi Aji masih beruntung karena bisa bernegosiasi dengan pihak kantor pos. Dia diperbolehkan membuka lapak dawet dengan menyewa tempat di dalam komplek kantor pos Purworejo hingga kini. Oleh sebab itu , dawet Aji populer di kalangan konsumen dengan sebutan dawet kantor pos.“Belakangan saya sebenarnya pengen pindah tempat lagi mengingat sewa tempat di sini semakin mahal. Namun karena sudah terkenal identik sebagai dawet kantor pos, saya jadi mikir ulang buat pindah. Sementara saya coba bertahan dulu,”ujarnya.



Tantangan lain yang harus ia hadapi adalah terkait persaingan usaha. Maklum di Purworejo begitu banyak penjual dawet yang mayoritas menawarkan sensasi khas dawet ireng. Tetapi Aji santai menyikapi hal tersebut. Apa sebab? Dia melihat bahwa konsumen penyuka dawet kebanyakan bertipe petualang rasa. Artinya mereka tidak membeli dan dawet di satu penjual saja, melainkan ke beberapa penjual karena ingin menikmati perbandingan aneka cita rasa dawet-dawet yang ada. Maka dari itu, Aji tidak mencoba membuat resep khusus atau resep rahasia agar dawetnya menjadi yang paling enak di antara dawet-dawet penjual lainnya. Dia hanya berusaha meningkatkan segi layanan konsumen saja. Misalnya saat ini dia menyediakan satu unit mobil layanan keliling pengantar pesanan dawet untuk acara hajatan maupun rapat-rapat instansi. Mobil itu juga sering digunakan manakala Aji berpartisipasi dalam berbagai event promosi kuliner daerah.

Ketika disinggung mengenai keuntungan berjualan dawet, Aji tersenyum dan berkata,” Kalau sudah dipotong modal operasional, sehari bisa untung rata-rata 200 -300 ribu. Saya rasa di Purworejo prospek jualan dawet itu biasa-biasa saja. Bahkan kalau jualan dalam rangka event tertentu, misalnya ikut memeriahkan suatu acara pameran dihitung-hitung sebenarnya tekor juga. Tetapi ya enggak apa-apa. Dari awal saya memang punya niat untuk mengangkat potensi kuliner daerah khususnya minuman dawet ireng. Sesekali merugi tak masalah. Yang penting idealisme saya tersalurkan”

Idealisme Aji dalam mengembangkan dawet sebagai potensi daerah ternyata tidak main-main. Tak segan-seganAji terus melobi teman atau kenalannya di DPRD maupun Pemda agar mereka memfasilitasi keberadan area khusus untuk promosi dan penjualan beragam kuliner khas daerah Purworejo. Sayangnya apa yang ia usulkan hingga kini belum mendapat tanggapan serius dari pihak-pihak terkait.

Previous Post
Next Post

post written by:

0 komentar: