Dawet adalah minuman berupa campuran
cendol, santan, dan air gula ditambah es yang telah populer sebagai
minuman masyarakat Jawa sejak puluhan tahun silam. Rasa dawet yang manis
menyegarkan sangat cocok dinikmati saat cuaca panas. Tak pelak hampir
semua kalangan menyukai minuman ini. Oleh sebab itu, banyak orang
mencoba peruntungan dengan berjualan berbagai jenis minuman dawet. Salah
satunya bernama Mustajab Leo Tiko Aji atau yang akrab disapa Aji.
Ditemui di lapaknya yang bertagline The
Traditonal Drink Of Java, Aji bertutur,“Dulu orang tua saya berjualan
dawet putih, tetapi tidak rutin tiap hari. Biasanya menyesuaikan dengan
musim atau event yang ada. Kalau pas musim panen padi, jualan dawet
untuk para petani di sawah; Umpama lagi ada acara tontonan pertunjukan
di kampung, ya buka lapak di sekitar area pertunjukan tersebut, dan lain
sebagainya. Semula saya merantau dan kerja kantoran. Karena bapak-ibu
semakin sepuh, saya kembali pulang untuk merawat mereka dan melanjukan
usaha turun temurun ini”.
Berbeda dengan kedua orang tuanya yang
berjualan dawet putih, Aji memilih menjual jenis dawet ayu, dawet ireng
dan kombinasi kedua dawet tersebut. Dia beralasan , “ Kedua jenis dawet
ini sudah terkenal soalnya. Dawet ayu yang khas dari Banjarnegara,
sementara dawet ireng asli made in Purworejo. Karena sudah terkenal jadi
lebih mudah menarik minat konsumen. Dawet ayu dan dawet ireng sama-sama
menyegarkan . Adapun perbedaanya terletak pada bahan pewarna cendol.
Kalau dawet ayu memakai daun pandan, sedangkan dawet ireng menggunakan
abu sekam padi. Baik pewarna daun pandan maupun pewarna abu sekam padi,
masing-masing memberikan aroma rasa yang seda”.
Ketika Aji memulai jualan dawet , dia
hanya mengeluarkan modal 500 ribu per hari. Namun saat sekarang
menurutnya per hari mesti keluar dana sekitar 950 ribu. Dibantu 4 orang
pegawainya, setiap hari Aji mampu menghasilkan sepikul atau 15 Kg dawet
yang terbagi menjadi 300 mangkok sajian dari semua jenis dawet yang
dibuatnya. Ia juga menyajikan makanan geblek sebagai pasangan minum
dawet di lapaknya. Memang tidak dapat dipastikan seberapa banyak
konsumen yang datang membeli dawet Aji. Tetapi setiap hari selalu ada
orang bertandang ke lapaknya. Saat hari Sabtu-Minggu dan musim liburan
tiba biasanya terjadi lonjakan kunjungan konsumen yang cukup signifikan.
Meski berjualan dawet nampak sepele, pada kenyataannya Aji merasakan
betapa jalan bisnis ini cukup berliku. Semula pria asal desa Bener itu
membuka lapak di trotoar dekat kampus Universitas Muhammadiyah
Purworejo(UMP) pada 1997. Sebenarnya lokasi tersebut terbilang strategis
karena di sekitar UMP terdapat pula beberapa sekolahan. Alhasil saat
tiba jam istirahat pelajaran, banyak mahasiswa maupun anak-anak sekolah
membeli dawet Aji. Namun kemudian lapak Aji kena gusur Satpol PP.
Akhirnya tahun 2004 dia terpaksa pindah ke trotoar depan Kantor Pos
Purworejo. Tak lama berselang, kembali Aji kena larangan jualan di
trotoar. Tetapi Aji masih beruntung karena bisa bernegosiasi dengan
pihak kantor pos. Dia diperbolehkan membuka lapak dawet dengan menyewa
tempat di dalam komplek kantor pos Purworejo hingga kini. Oleh sebab itu
, dawet Aji populer di kalangan konsumen dengan sebutan dawet kantor
pos.“Belakangan saya sebenarnya pengen pindah tempat lagi mengingat sewa
tempat di sini semakin mahal. Namun karena sudah terkenal identik
sebagai dawet kantor pos, saya jadi mikir ulang buat pindah. Sementara
saya coba bertahan dulu,”ujarnya.
Tantangan lain yang harus ia hadapi adalah terkait persaingan usaha.
Maklum di Purworejo begitu banyak penjual dawet yang mayoritas
menawarkan sensasi khas dawet ireng. Tetapi Aji santai menyikapi hal
tersebut. Apa sebab? Dia melihat bahwa konsumen penyuka dawet kebanyakan
bertipe petualang rasa. Artinya mereka tidak membeli dan dawet di satu
penjual saja, melainkan ke beberapa penjual karena ingin menikmati
perbandingan aneka cita rasa dawet-dawet yang ada. Maka dari itu, Aji
tidak mencoba membuat resep khusus atau resep rahasia agar dawetnya
menjadi yang paling enak di antara dawet-dawet penjual lainnya. Dia
hanya berusaha meningkatkan segi layanan konsumen saja. Misalnya saat
ini dia menyediakan satu unit mobil layanan keliling pengantar pesanan
dawet untuk acara hajatan maupun rapat-rapat instansi. Mobil itu juga
sering digunakan manakala Aji berpartisipasi dalam berbagai event
promosi kuliner daerah.
Ketika disinggung mengenai keuntungan
berjualan dawet, Aji tersenyum dan berkata,” Kalau sudah dipotong modal
operasional, sehari bisa untung rata-rata 200 -300 ribu. Saya rasa di
Purworejo prospek jualan dawet itu biasa-biasa saja. Bahkan kalau jualan
dalam rangka event tertentu, misalnya ikut memeriahkan suatu acara
pameran dihitung-hitung sebenarnya tekor juga. Tetapi ya enggak apa-apa.
Dari awal saya memang punya niat untuk mengangkat potensi kuliner
daerah khususnya minuman dawet ireng. Sesekali merugi tak masalah. Yang
penting idealisme saya tersalurkan”
Idealisme Aji dalam mengembangkan dawet
sebagai potensi daerah ternyata tidak main-main. Tak segan-seganAji
terus melobi teman atau kenalannya di DPRD maupun Pemda agar mereka
memfasilitasi keberadan area khusus untuk promosi dan penjualan beragam
kuliner khas daerah Purworejo. Sayangnya apa yang ia usulkan hingga kini
belum mendapat tanggapan serius dari pihak-pihak terkait.
0 komentar: